Puji syukur atas Allah SWT. yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah yang berjudul Asas legalitas Hukum
Pidana Islam ini dapat terselesaikan dengan baik.
Makalah ini membahas mengenai asas-asas yang terdapat
dalam hukum pidana Islam, yang mana pada pembahasannya membahas dan menjelaskan
macam-macam asas yang ada pada hukum pidana Islam. Beserta dalil-dalil yang
dijadikan sumber hukum dari asas-asas yang telah disebutkan. Semoga bermanfaat.
1. Apa
yang dimaksud asas legalitas?
2. Apakah
sumber hukum asas legalitas?
3. Bagaimanakah
Penerapan Asas Legalitas?
4. Berapakah
macam-macam asas legalitas?
Kata asas berasal dari
bahasa Arab asasun yang berarti dasar atau prinsip, sedangkan kata legalitas
berasal dari bahasa latin yaitu lex (kata benda) yang berarti undang-undang,
atau dari kata jadian legalis yang berarti sah atau sesuai dengan ketentuan
undang-undang. Dengan demikian legalitas adalah "keabsahan sesuatu menurut
undang undang"[1].
Dengan demukian arti
legalitas adalah “keabsahan sesuatu menurut undang-undang.” Secara historis
asas legalitas pertama kali digagas oleh Anselm van Voirbacht dan penerapannya
di Indonesia dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) yang berbunyi “suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali
berdasarkan kekuatan perundang-undangan pidana.”
Adapun istilah legalias
dalam syari'at Islam tidak ditentukan secara jelas sebagaimana yang terdapat
dalam kitab undang-undang hukum positif. Kendati demikian, bukan berarti
syari'at Islam tidak mengenal asas legalitas. Bagi pihak yang menyatakan hukum
pidana Islam tidak mengenal asas legalitas, hanyalah mereka yang tidak meneliti
secara detail berbagai ayat yang secara substansional menunjukkan adanya asas
legalitas[2].
Asas legalitas biasanya
tercermin dari ungkapan dalam bahasa latin: Nullum Deliktum Nulla Poena Sine
Pravia Lege Poenali (tiada delik tiada hukuman sebelum ada ketentuan terlebih
dahulu). Asas ini merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan
memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini
melindungi dari penyalah gunaan kekuasaan atau keseweenang-wenangan hakim,
menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan yang dilarang.
Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan
illegal dan hukumanya. Jadi, berdasarkan asas ini, tiada suatu perbuatan boleh
dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan sejara jelas oleh
suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan. Hakim dapat
menjatuhkan pidana hanya terhadap orang yang melakukan perbuatan setelah
dinyatakan sebelumnya sebagai tindak pidana.
Asas legalitas dalam Islam bukan
berdasarkan pada akal manusia, tetapi dari ketentuan Tuhan. Sedangkan asas
legalitas secara jelas dianut dalam hukum Islam. Terbukti adanya beberapa ayat
yang menunjukkan asas legalitas tersebut. Allah tidak akan menjatuhkan hukuman
pada manusia dan tidak akan meminta pertanggungjawaban manusia sebelum adanya
penjelasan dan pemberitahuan dari Rasul-Nya. Demikian juga kewajiban yang harus
diemban oleh umat manusia adalah kewajiban yang sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki, yaitu taklif yang sanggup di kerjakan. Dasar hukum asas legalitas
dalam Islam antara lain:
Al-Qur'an surat Al-Isra’: 15, Yang
terjemahnya kurang lebih demikian: “Barang siapa yang berbuat sesuai dengan
hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya
sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi
(kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa
orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.”
Al-Qur'an surat Al-Qashash: 59,
Yang terjemahnya kurang lebih demikian:
“Dan tidak adalah Tuhanmu
membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang
membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami
membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam Keadaan melakukan kezaliman.”
Kaidah Fiqh
لاحُدُوْدَ
لاَفعَالِ العُقلاءِ قَبْلَ وُرُوْدِ النصِّ
Artinya : Tidak ada hukum bagi tindakan-tindakan
manusia sebelum ada aturan hukumnya
Prinsip legalitas ini
diterapkan paling tegas pada kejahatan-kejahatan hudud. Pelanggarannya dihukum
dengan sanksi hukum yang pasti. Prinsip tersebut juga diterapkan bagi kejahatan
qishash dan diyat dengan diletakanya prosedur khusus dan sanksi yang sesuai.
Jadi, tidak diragukan bahwa prinsip ini berlaku sepenuhnya bagi kedua katagori
diatas.
Menurut Nagaty Sanad,
professor hukum pidana dari mesir, asas legalitas dalam Islam yang berlaku bagi
kejahatan ta’zir adalah yang paling fleksibel, dibandingkan dengan kedua
katagori sebelumnya.
Untuk menerapkan asas
legalitas ini, dalam hukum pidana Islam terdapat keseimbangan. Hukum Islam
menjalankan asas legalitas, tetapi juga melindungi kepentingan masyarakat. Ia
menyeimbangkan hak-hak individu, keluarga, dan masyarakat melalui katagorisasi
kejahatan dan sanksinya.
Kemudian jika berpegang
pada asas legalitas seperti yang dikemukakan pada bab di atas serta kaidah
"tidak ada hukuman bagi perbuatan mukallaf sebelum adanya ketentuan
nas"[3], maka perbuatan tersebut tidak bisa dikenai tuntutan atau
pertanggung jawaban pidana. Dengan demikian nas-nas dalam syari'at Islam belum
berlaku sebelum di undangkan dan diketahui oleh orang banyak. Ketentuan ini
memberi pengertian hukum pidana Islam baru berlaku setelah adanya nas yang
mengundangkan. Hukum pidana Islam tidak mengenal sistem berlaku surut yang
dalam perkembangannya melahirkan kaidah[3]
:
لارجعية
في التشريع الجنائي
Tidak
berlaku surut pada pidana Islam
Penerapan hukum pidana
Islam yang menunjukkan tidak berlaku semisal:
- Berlakunya bekas ibu tiri dalam surat
An-Nisa': 22, Yang terjemahnya kurang lebih demikian:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang
telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.
Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan
(yang ditempuh).”
- Hukum riba dalam QS. Al-Baqarah: 275
Yang terjemahnya kurang lebih demikian:
“Orang-orang yang makan
(mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Asas legalitas ini
mengenal juga asas teritorial dan non teritorial;
a. Asas teritorial menyatakan bahwa hukum
pidana Islam hanya berlaku di wilayah di mana hukum Islam diberlakukan, yakni :
· Negara-negara Islam;
· Negara yang berperang dengan negara
Islam;
· Negara yang mengadakan perjanjian
damai dengan negara Islam.
b. Asas non teritorial menyatakan bahwa
hukum pidana Islam berlaku bagi seorang muslim tanpa terikat di mana ia berada,
apakah ada di wilayah di mana hukum pidana Islam diberlakukan (tiga negara
tersebut di atas), maupun di negara yang secara formal tidak diberlakukan hukum
pidana Islam.
Adapun macam-macam asas
dapat dikelompokkan menjadi empat bagian:
1.
Asas tidak Berlaku Surut
Hukum
pidana Islam pada prinsip tidak berlaku surut, hal ini sesuai dengan kaidah في التشريع الجنائي لارجعية
tidak berlaku
surut pada pidana Islam, artinya sebelum adanya nas yang melarang perbuatan
maka tindakan mukallaf tidak bisa dianggap sebagai suatu jarimah. Namun dalam
praktiknya ada beberapa jarimah yang diterapkan berlaku surut artinya perbuatan
itu dianggap jarimah walaupun belum ada nas yang melarangnya.
Alasan diterapakan
pengecualiaan berlaku surut, karena pada jarimah-jarimah yang berat dan sangat
berbahaya apabila tidak diterapkan maka akan menimbulkan kekacauan dan kehebohan
dikalangan umat muslim.
Jarimah-jarimah yang diberlakukan surut yaitu
:
a. Jarimah Qadzaf (menuduh Zina) dalam
surat An-Nur: 4, Yang terjemahnya kurang lebih demikian:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada
wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian
jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang
hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya.”
b. Jarimah Hirabah dalm surat Al-Maidah: 33,
Yang terjemahnya kurang lebih demikian:
“Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat
kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka
didunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.”
Selain itu asas
ini melarang berlakunya hukum ke belakang, kepada perbuatan yang belum ada
aturan atau nasnya. Hukumpidana harus berjalan kedepan. Pelanggaran terhadap
asas ini mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Contoh dari
pelaksanaan asas ini adalah pelanggaran praktik yang berlaku di antara bangsa
Arab Pra-Islam.
Sebagai contoh,
di zaman pra-Islam, seorang anak
diizinkan menikahi istri dari ayahnya. Islam melarang praktek ini, tetapi ayat
Al-Qur’an secara khusus mengecualikan setiap perkawinan seperti itu yang
dilakukan sebelum pernyataan dilarang: “ Dan janganlah kamu kawini
wanita-wanita yang telah dikawini ayahmu, terkecuali pada masa yang telah
lampau.” (an-Nisa: 22). Sebagai akibatnya, ikatan perkawinan seperti itu
menjadi putus, namun dari sisi hukum pidana pelakunya tidak dipidana.
2. Asas Praduga tak Bersalah
Suatu konsekuen yang
tidak bisa dihindarkan dari asas legalitas
adalah asas praduga tak bersalah (principle of lawfulness/presumption of
innocence). Menurut asas ini semua perbuatan dianggap boleh kecuali dinyatakan
sebaliknya oleh suatu nash hukum[4].
Selanjutnya setiap orang dianggap tidak bersalah untuk suatu perbuatan jahat,
kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa ada keraguan. Jika
di suatu keraguan yang beralasan muncul, seorang tertuduh harus dibebaskan.
Konsep tersebut telah dilembagakan dalam hukum Islam jauh mengenalnya sebelum
hukum-hukum pidana positif.
Berkaitan erat dengan
asas praduga tak bersalah adalah batalnya hukuman karena adanya keraguan
(doubt). Hadits nabi menyatakan secara jelas menyatakan: “Hindarkan hudud dalam
keadaan ragu lebih baik salah dalam membebaskan daripada salah menghukum.”
Menurut ketentuan ini, putusan untuk menjatuhkan hukuman harus dilakukan dengan
keyakinan, tanpa adanya keraguan[5].
Dalam kejahatan kejahatan
hudud, keraguan[6]
membawa pembebasan terdakwa dan pembatalan hukuman hadd. Akan tetapi, ketika
pembatalan hukuman had ini, hakim (jika diperlukan) masih memiliki otoritas
untuk menjatuhkan hukuman ta'zir kepada terdakwa.
Para sarjana muslim
sepakat pada prinsip diatas untuk
kejahatan kejahatan hudud dan qisas, namun mereka berbeda pada penerapannya
untuk kejahatan kejahatan ta'zir. Pandangan mayoritas adalah bahwa aplikasi
prinsip ini tidak meliputi kejahatan kejahatan ta'zir. Akan tetapi, sebagian
sarjana memegang pendapat jenis
kejahatan yang terakhir mesti tidak dikecualikan, atas dasar bahwa, tidak ada
sesuatupun dalam jiwa syari'at menghalagi keberlakuannya[9]. Menurut mereka,
ketentuan ini dibuat dengan tujuan untuk menjamin keadilan dan melindungi
kepentingan terdakwa, baik dakwaan itu untuk kejahatan had, qisas dan ta'zir.
3. Asas Material
Asas material hukum
pidana Islam menyatakan bahwa tindak pidana ialah segala yang dilarang oleh
hukum, baik dalam bentuk tindakan yang dilarang maupun tidak melakukan tindakan
yang diperintahkan, yang diancam hukum (had atau ta’zir).
Berdasarkan atas asas
material ini, sanksi hukum pidana Islam mengenal dua macam: hudud dan ta’zir.
Hudud adalah sanksi hukum yang kadarnya telah ditetapkan secara jelas
berdasarkan teks atau nash, baik al-Qur’an maupun hadits. Sementara ta’zir
adalah sanksi hukum yang ketetapannya tidak ditentukan, atau tidak jelas
ketentuannya, baik dalam al-Qur’an maupun hadits. Oleh karena itu, dalam
pelaksanaan asas material ini lahirlah kaidah hukum pidana yang berbunyi
:
اِدْرَءُوا
الحُدُوْدَ بالشُبْهَاتِ
Artinya : Hindarkanlah pelaksanaan hudud jika ada kesamaran atau syubhat.
Asas material pun mengenal asas pemaafan dan
asas taubat. Asas pemaafan dan taubat menyatakan bahwa orang yang melakukan
tindak pidana, baik atas jiwa, anggota badan maupun harta, dapat dimaafkan oleh
pihak yang dirugikan apabila yang bersangkutan bertobat. Bentuk tobat dapat
mengambil bentuk pembayaran denda yang disebut diyat, kafarat, atau bentuk
lain, yakni langsung bertaubat kepada Allah SWT. Oleh karena itu, lahirlah
kaidah yang menyatakan bahwa: “Orang yang bertobat dari dosa seperti orang yang
tidak berdosa. “
4. Asas Moralitas
Ada beberapa asas moral hukum pidana Islam :
(1) Asas
Adamul Uzri yang menyatakan bahwa seseorang tidak diterima pernyataannya bahwa
ia tidak tahu hukum.
(2) Asas Raful
Qalam yang menyatakan bahwa sanksi atas suatu tindak pidana dapat dihapuskan
karena alasan-alasan tertentu, yaitu karena pelakunya di bawah umur, orang yang
tertidur dan orang gila.
(3) Asas al-Khath
wa Nis-yan yang secara harfiah berarti kesalahan dan kelupaan. Asas ini
menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dituntut pertanggungan jawab atas
tindakan pidananya jika ia dalam melakukan tindakannya itu karena kesalahan
atau karena kelupaan. Asas ini didasarkan atas surat al-Baqarah: 286.
(4) Asas
Suquth al-‘Uqubah yang secara harfiah berarti gugurnya hukuman. Asas ini
menyatakan bahwa sanksi hukum dapat gugur karena dua hal : pertama, karena si
pelaku dalam melaksanakan tindakannya melaksanakan tuga; kedua, karena
terpaksa. Pelaksanaan tugas dimaksud adalah seperti : petugas eksekusi qishash
(algojo), dokter yang melakukan operasi atau pembedahan, dsb. Keadaan terpaksa
yang dapat menghapuskan sanksi hukum seperti : membunuh orang dengan alasan membela
diri, dsb.
Dari pemaparan di atas maka dapat diambil kesimpulan
bahwa dalam hukum pidana islam memiliki beberapa asas diantaranya:
1) Asas
Legalitas, asas legalitas adalah cerminan dari ungkapan dalam bahasa latin:
Nullum Deliktum Nulla Poena Sine Pravia Lege Poenali (tiada delik tiada hukuman
sebelum ada ketentuan terlebih dahulu). Bahwa asas ini menjelaskan bahwa tidak
akan menjatuhkan hukuman pada manusia dan tidak akan meminta pertanggungjawaban
manusia sebelum adanya penjelasan dan pemberitahuan dari Rasul-Nya.
2) Asas
tidak berlaku surut, artinya sebelum adanya nas yang melarang perbuatan maka
tindakan mukallaf tidak bisa dianggap sebagai suatu jarimah.
3) Asas
praduga tak bersalah ( principle of lawfulness/presumption of innocence), Menurut asas ini bahwa semua perbuatan
dianggap boleh kecuali dinyatakan sebaliknya oleh suatu nash hukum. Jadi,
setiap orang dianggap tidak bersalah untuk suatu perbuatan jahat, kecuali
dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa ada keraguan.
4) Asas material, asas material hukum pidana
Islam menyatakan bahwa tindak pidana ialah segala yang dilarang oleh hukum,
baik dalam bentuk tindakan yang dilarang maupun tidak melakukan tindakan yang
diperintahkan, yang diancam hukum (had atau ta’zir).
5) Asas
moralitas, Ada beberapa asas moral hukum pidana Islam :
(1) Asas
Adamul Uzri
(2) Asas Raful
Qalam
(3) Asas
al-Khath wa Nis-yan Asas
(4) Suquth
al-‘Uqubah
1. Djazuli, H. A. FIQH JINAYAH. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1997.
2. Hanafi,Ahmad. Asas-asas Hukum Pidana
Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
3. Munajat, Makhrus. FIKIH JINAYAH(Hukum
Pidana Islam). Pesantren Nawesea Pres.Jakarta.2009.
4. Santoso, Topo, S,H., M.H, Membumikan
Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani Pres, 2003.
[1]
Subekti dan Tjitrosudibyo, kamus Hukum, (Jakarta: pradnya Paramita, 1969), hlm,
63.
[2]
Abd al-Qodir Awdah, At-Tasyri al-Jinai al-Islami,(Beirut: Dar al-Fikr,t.t.),1:118.
[3]
Ibid
[4]
Sebaliknya dalam kaitan ibadah khusus, seperti shalat atau puasa, semua
perbuatan dilarang, kecuali yang diperintahkan.
[5]
Subhat ialah ma yusbihu sabit wa laisa bisabit, berarti bertentangan antara
unsur formil dan materiilnya atau segala hal yang tetap dianggap tidak tetap.
Abd al-Qodir Awdah, At-Tasyri al-Jinai…,I: 254.
[6]
Mazhab Syfi’I mengklasifikasikan subhat
dalam 3 kategori: (1) subhat yang berkaitan dengan obyek; (2) Subhat yang
disebabkan oleh pelakunya; (3) Keraguan formal (muncul karena tidak sepakatnya
para fuqaha untuk suatu masalah). Sementara mazhab Hanafimengklassifikasikan
keraguan ini kedalam: (1) Keraguan yang melekat dalam perbuatan itu; (2)
Keraguan yang melekat pada tempatnya; dan (3) Keraguan yang melekat pada perjanjiannya
Abd al-Qodir Awdah, At-Tasyri’ al-Jinai al-Islami…,I hlm. 258-261.
0 komentar:
Posting Komentar